ARTIKEL | Akhir Yang Bahagia (Mengenang Almarhum Nurlia Asso)
Oleh Dr. Ade Yamin, MA
(Dosen Fakultas Syariah IAIN Fattahul Muluk Papua)
“Saya ini anak Piatu", menjadi kalimat pembuka pada goresan tangan Nurlia Asso yang saya baca pertama, ketika memeriksa tugas Mata Kuliah Etnografi yang saya ampu di IAIN Fattahul Muluk Papua, kembali menampar wajah dan menguak memori saya 6 tahun yang lalu. Ya, Kisah seorang Nurlia Asso, Perempuan Dani Muslim generasi kedua setelah Badrika Yelipele yang mengenyam pendidikan di IAIN Fatahul Muluk Papua, yang terus mengejar mimpinya untuk menjadi sarjana.
Banyak kisah pilu jalan hidup dalam catatan tangan yang ia serahkan pada saya 6 tahun yang lalu itu, kembali terjejer satu persatu dalam ingatan saya, bagaimana ia harus terus berjuang untuk menamatkan pendidikan tingkat SD di Wamena dengan harus hidup berpindah dari satu rumah kerumah yang lain, berbagai kekerasan fisik dan perlakuan tidak ramah yang pernah ia terima. Demikian pula di masa SMP hingga SMK, jualan di pasar, memelihara babi dan berbagai aktifitas penunjang hidup lain ia lakoni demi mengejar cita-citanya.
Ketika Nurlia Asso melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi di Jayapura, perjuangan untuk menggapai cita cita yang ia impikan memperhadapkannya pada ujian-ujian kehidupan lainnya. Namun tantangan dan pengalaman hidup semasa menempuh pendidikan di Wamena sangat cukup baik melatih dirinya untuk dapat bertarung dengan kerasnya kehidupan Kota Jayapura, dan mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk menempuh Pendidikan Tinggi.
Memang, ketika pertama menempuh Pendidikan Tinggi di IAIN Fattahul Muluk Papua, ia pernah mendapatkan bantuan negara berupa beasiswa, namun karena syarat struktural administrasi menjadi pedoman utama bagi para penerima beasiswa itu cukup tinggi, membuat Nurlia harus kehilangan hak sebagai penerima.
Menghadapi keadaan tersebut, ia tidak menyerah. Agar survive, Nurlia Asso terus menganyam jaring-jaring hidup dan keberlangsungan kuliah dengan caranya sendiri. Ia lakoni hidup menjadi menjual pinang di pasar kaget depan UPT Museum Waena Distrik Heram, sambil menganyam noken yang merupakan modal budaya yang ia warisi turun temurun dari kecerdasan masyarakatnya.
Ketika Nurlia Asso terpaksa dan dipaksa kehilangan hak untuk memperoleh beasiswa, ia tidak mengeluh, protes, berontak ataupun demonstrasi, mengutuk dan menyerapahi mereka-mereka yang telah mencabut beasiswa itu. Nampaknya petikan tulisan tangan yang ia serahkan pada saya 6 tahun yang lalu itu menjadi dasar sikap, yang menunjukkan kelembutan dan keluhuran budi pekertinya. Nurlia Asso menuliskan, Dari kecil saya besar di orang jadi saya tidak pernah marah orang, kalau marah atau pukul orang itu tidak ada hasilnya, jadi biar orang pukul, marah saya, saya tidak akan balas, saya harus sabar baru berdoa saja, Tuhan Pasti kasih Jalan’.
Ah Nurlia Asso, sesungguhnya saya malu menuliskan penggalan tulisan tanganmu ini, karena belum tentu apa yang kamu lakukan itu dapat saya contohi, jika kasus itu terjadi pada saya.
Ia juga tidak merengek pada berbagai pihak agar diberi belas kasihan ketika kesulitan hidup melandanya. Saya ingat dengan pasti, bahwa saya pernah meminta padanya pada satu saat di awal-awal kuliah, Lia, kalau nanti ada masalah dengan kuliah kasih tahu saya e, soal beasiswakah atau apa kasih tahu saya, sebab saya ini ko pu orang tua, ko pu orang-orang tua di Wamena itu su bikin saya jadi sarjana, jadi kalau ada apa apa, kasih tahu saya, jangan ragu …”
Ketika beasiswanya diputus oleh kampus, tak sepatah katapun keluar dari mulutnya untuk sekedar berkeluh kesah kepada saya. Ketika pada satu waktu ia ke rumah, saya bertanya padanya, Lia, kuliah bagaimana?
“Baik bapak, ujarnya.
Beasiswa bagaimana?” lanjutku.
Ia tak menjawab, namun hanya tersenyum.
Ya, nampaknya senyum Nurlia Asso ini sukses mengelabui mata setiap orang yang melihatnya. Senyum yang menjadi ciri khas Nurlia Asso seakan memberi penanda seakan ia tidak mengenal kesedihan dan kepahitan hidup. Senyum Nurlia Asso selalu memancarkan keikhlasan, dan kejujuran.
Nurlia Asso juga telah memberi kita satu contoh keteguhan dalam memeluk agama. Sebagai perempuan Dani, mengenakan jilbab (hijab) tentu menjadi tantangan dan ujian tersendiri yang tidak akan mudah dipahami oleh mereka yang tidak paham, betapa kebiasaan hidup dengan agama berbeda membuat masyarakat hidup dalam suasana kebatinan yang tidak nyaman (ethnopsikology). Stigma, pandangan miring dan keheranan akibat Jilbab yang ia kenakan tak menggentarkan apalagi meragukan dirinya untuk tetap menunjukkan identitasnya sebagai seorang Muslimah.
Sebagai catatan, sepanjang ingatan saya, Nurlia tidak pernah melepaskan jilbabnya dalam aktifitas apapun juga, dan Nurlia menjadi satu-satunya perempuan Papua Muslim yang mengenakan Jilbab dan berjualan pinang di depan Museum Ekspo Waena demi menyambung hidup dan melanjutkan kuliah.
Kini, Nurlia Asso telah menunaikan tugasnya di dunia, kembali kepada Allah, Tuhan Seru sekalian alam. Meskipun cita-citanya untuk menjadi Sarjana belum tercapai, namun kisah hidup Nurlia Asso, lebih dari cukup untuk menjadi cermin bagi siapapun yang ingin mengambil hikmahnya darinya.
Nurlia Asso memberi kita paling tidak tiga pesan damai dalam kehidupan dunia yang dapat menjadi bekal di hari kemudian;
Pertama, kerendahan hati, dan keikhlasan menerima kenyataan hidup dengan tidak banyak mengeluh.
Kedua, selalu tersenyum dalam menghadapi kegetiran hidup karena selalu ada jalan dibalik kesulitan.
Dan ketiga, tetaplah teguh dalam menjalankan keyakinan sebagai pemeluk agama, meskipun cemoohan menghampiri, karena beragama, bukan hanyalah berikrar akan ke-Esa-an Tuhan, tapi lebih jauh dari itu, beragama merupakan bentuk dari eksistensi dari harga diri yang layak dan patut untuk diperjuangkan, seperti yang Nurlia Asso telah tunjukkan dengan jilbabnya.
Terakhir, lepas dari cerita di atas, seorang Nurlia Asso telah sukses membuat saya iri hati. Ia menunaikan tugasnya di dunia dengan akhir yang bahagia, pada waktu yang sangat dirindukan oleh setiap insan yang mengaku muslim. Nurlia menghembuskan nafas terakhir sambil menyusui anaknya yang baru berusia 4 bulan dengan tersenyum, ia menghadap Tuhannya pada malam Jumat 21 Ramadhan, atau 10 malam terakhir Ramadhan, malam waktu dimana pintu taubat sedang dibukakan oleh Allah Rabbul Izzati. Selamat jalan Nurlia Asso, kisahmu akan menjadi inspirasi Allahumaghfirlaha Wafuanha … (*)
Buper Waena, Kota Jayapura, Jumat 21 Ramadhan 1441 H
(Dosen Fakultas Syariah IAIN Fattahul Muluk Papua)
“Saya ini anak Piatu", menjadi kalimat pembuka pada goresan tangan Nurlia Asso yang saya baca pertama, ketika memeriksa tugas Mata Kuliah Etnografi yang saya ampu di IAIN Fattahul Muluk Papua, kembali menampar wajah dan menguak memori saya 6 tahun yang lalu. Ya, Kisah seorang Nurlia Asso, Perempuan Dani Muslim generasi kedua setelah Badrika Yelipele yang mengenyam pendidikan di IAIN Fatahul Muluk Papua, yang terus mengejar mimpinya untuk menjadi sarjana.
Banyak kisah pilu jalan hidup dalam catatan tangan yang ia serahkan pada saya 6 tahun yang lalu itu, kembali terjejer satu persatu dalam ingatan saya, bagaimana ia harus terus berjuang untuk menamatkan pendidikan tingkat SD di Wamena dengan harus hidup berpindah dari satu rumah kerumah yang lain, berbagai kekerasan fisik dan perlakuan tidak ramah yang pernah ia terima. Demikian pula di masa SMP hingga SMK, jualan di pasar, memelihara babi dan berbagai aktifitas penunjang hidup lain ia lakoni demi mengejar cita-citanya.
Ketika Nurlia Asso melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi di Jayapura, perjuangan untuk menggapai cita cita yang ia impikan memperhadapkannya pada ujian-ujian kehidupan lainnya. Namun tantangan dan pengalaman hidup semasa menempuh pendidikan di Wamena sangat cukup baik melatih dirinya untuk dapat bertarung dengan kerasnya kehidupan Kota Jayapura, dan mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk menempuh Pendidikan Tinggi.
Memang, ketika pertama menempuh Pendidikan Tinggi di IAIN Fattahul Muluk Papua, ia pernah mendapatkan bantuan negara berupa beasiswa, namun karena syarat struktural administrasi menjadi pedoman utama bagi para penerima beasiswa itu cukup tinggi, membuat Nurlia harus kehilangan hak sebagai penerima.
Menghadapi keadaan tersebut, ia tidak menyerah. Agar survive, Nurlia Asso terus menganyam jaring-jaring hidup dan keberlangsungan kuliah dengan caranya sendiri. Ia lakoni hidup menjadi menjual pinang di pasar kaget depan UPT Museum Waena Distrik Heram, sambil menganyam noken yang merupakan modal budaya yang ia warisi turun temurun dari kecerdasan masyarakatnya.
Ketika Nurlia Asso terpaksa dan dipaksa kehilangan hak untuk memperoleh beasiswa, ia tidak mengeluh, protes, berontak ataupun demonstrasi, mengutuk dan menyerapahi mereka-mereka yang telah mencabut beasiswa itu. Nampaknya petikan tulisan tangan yang ia serahkan pada saya 6 tahun yang lalu itu menjadi dasar sikap, yang menunjukkan kelembutan dan keluhuran budi pekertinya. Nurlia Asso menuliskan, Dari kecil saya besar di orang jadi saya tidak pernah marah orang, kalau marah atau pukul orang itu tidak ada hasilnya, jadi biar orang pukul, marah saya, saya tidak akan balas, saya harus sabar baru berdoa saja, Tuhan Pasti kasih Jalan’.
Ah Nurlia Asso, sesungguhnya saya malu menuliskan penggalan tulisan tanganmu ini, karena belum tentu apa yang kamu lakukan itu dapat saya contohi, jika kasus itu terjadi pada saya.
Ia juga tidak merengek pada berbagai pihak agar diberi belas kasihan ketika kesulitan hidup melandanya. Saya ingat dengan pasti, bahwa saya pernah meminta padanya pada satu saat di awal-awal kuliah, Lia, kalau nanti ada masalah dengan kuliah kasih tahu saya e, soal beasiswakah atau apa kasih tahu saya, sebab saya ini ko pu orang tua, ko pu orang-orang tua di Wamena itu su bikin saya jadi sarjana, jadi kalau ada apa apa, kasih tahu saya, jangan ragu …”
Ketika beasiswanya diputus oleh kampus, tak sepatah katapun keluar dari mulutnya untuk sekedar berkeluh kesah kepada saya. Ketika pada satu waktu ia ke rumah, saya bertanya padanya, Lia, kuliah bagaimana?
“Baik bapak, ujarnya.
Beasiswa bagaimana?” lanjutku.
Ia tak menjawab, namun hanya tersenyum.
Ya, nampaknya senyum Nurlia Asso ini sukses mengelabui mata setiap orang yang melihatnya. Senyum yang menjadi ciri khas Nurlia Asso seakan memberi penanda seakan ia tidak mengenal kesedihan dan kepahitan hidup. Senyum Nurlia Asso selalu memancarkan keikhlasan, dan kejujuran.
Nurlia Asso juga telah memberi kita satu contoh keteguhan dalam memeluk agama. Sebagai perempuan Dani, mengenakan jilbab (hijab) tentu menjadi tantangan dan ujian tersendiri yang tidak akan mudah dipahami oleh mereka yang tidak paham, betapa kebiasaan hidup dengan agama berbeda membuat masyarakat hidup dalam suasana kebatinan yang tidak nyaman (ethnopsikology). Stigma, pandangan miring dan keheranan akibat Jilbab yang ia kenakan tak menggentarkan apalagi meragukan dirinya untuk tetap menunjukkan identitasnya sebagai seorang Muslimah.
Sebagai catatan, sepanjang ingatan saya, Nurlia tidak pernah melepaskan jilbabnya dalam aktifitas apapun juga, dan Nurlia menjadi satu-satunya perempuan Papua Muslim yang mengenakan Jilbab dan berjualan pinang di depan Museum Ekspo Waena demi menyambung hidup dan melanjutkan kuliah.
Kini, Nurlia Asso telah menunaikan tugasnya di dunia, kembali kepada Allah, Tuhan Seru sekalian alam. Meskipun cita-citanya untuk menjadi Sarjana belum tercapai, namun kisah hidup Nurlia Asso, lebih dari cukup untuk menjadi cermin bagi siapapun yang ingin mengambil hikmahnya darinya.
Nurlia Asso memberi kita paling tidak tiga pesan damai dalam kehidupan dunia yang dapat menjadi bekal di hari kemudian;
Pertama, kerendahan hati, dan keikhlasan menerima kenyataan hidup dengan tidak banyak mengeluh.
Kedua, selalu tersenyum dalam menghadapi kegetiran hidup karena selalu ada jalan dibalik kesulitan.
Dan ketiga, tetaplah teguh dalam menjalankan keyakinan sebagai pemeluk agama, meskipun cemoohan menghampiri, karena beragama, bukan hanyalah berikrar akan ke-Esa-an Tuhan, tapi lebih jauh dari itu, beragama merupakan bentuk dari eksistensi dari harga diri yang layak dan patut untuk diperjuangkan, seperti yang Nurlia Asso telah tunjukkan dengan jilbabnya.
Terakhir, lepas dari cerita di atas, seorang Nurlia Asso telah sukses membuat saya iri hati. Ia menunaikan tugasnya di dunia dengan akhir yang bahagia, pada waktu yang sangat dirindukan oleh setiap insan yang mengaku muslim. Nurlia menghembuskan nafas terakhir sambil menyusui anaknya yang baru berusia 4 bulan dengan tersenyum, ia menghadap Tuhannya pada malam Jumat 21 Ramadhan, atau 10 malam terakhir Ramadhan, malam waktu dimana pintu taubat sedang dibukakan oleh Allah Rabbul Izzati. Selamat jalan Nurlia Asso, kisahmu akan menjadi inspirasi Allahumaghfirlaha Wafuanha … (*)
Buper Waena, Kota Jayapura, Jumat 21 Ramadhan 1441 H