ARTIKEL | MENGAMBIL HIKMAH RAMADHAN DARI PANDEMI COVID 19
MENGAMBIL
HIKMAH RAMADHAN DARI PANDEMI COVID 19
(SINERGITAS
BERAGAMA DARI PANDEMI COVID 19: UJIAN PENGUATAN BAGI ORANG BERIMAN)
Oleh Dr. Abdul
Hafid Jusuf, S.Ag, MM
(Kasie
Penyelenggaraan Umroh dan Haji Kanwil Kemenag Papua)
Suatu saat
diskusi saya dengan Bapak Pdt. Amsal Yowei, SE. MPd.K yang juga Kakanwil Kementerian
Agama Prov. Papua dalam rangka membangun sinergitas beragama, karena seringkali
saat saat jeda waktu kita selalu memikirkan tentang "reinforcement" sebagai
program penguatan dengan probabilitas umat baik terhadap dampak teknologis
maupun psikososial beragama. Diskusi diskusi ringan sore hari sebelum pulang
kantor untuk menjembatani berbagai kolabarasi teknologis di altar credo
keumatan tentang teknologi yang melahirkan social_strong.
Ruang jeda
waktu yang mengkombinasikan penguatan peran peran sosial beragama ditengah
tengah gempuran teknologis massif, seringkali menjadi faktor pemicu bagi dialektikal
sosial antara harapan masa depan dan krisis kepercayaan karena teknologi.
Koq bisa
!!!, ... iya ..!!!, ekspektasi sosial yang damai sejahtera tidak serta merta
terjadi begitu saja tanpa challenges
opportunities threats dalam menciptakan peluang peluang damai sejahtera.
Ada indikator sosial beragama yang menjadi new challenges (tantangan baru)
berupa artificial intelectual (AI), cloud, dengan aplikasi layanan dalam trend 2020.
Ada juga,
perjuangan generasi antar kelas dari generasi Y, generasi Z, bahkan generasi
Alpha yang pada dasarnya juga menjadi program penguatan institusional, dimana
perjuangan generasi melahirkan strong sosial, disisi lain juga memiliki dampak
ancaman antar generasi, istilahnya "the new cultural generation",
dimana kita tidak bisa memilih karena the new cultural sebagai buncah piramida
sosial menjadi pendekatan afirmatif antara prilaku saintek dan akhlak beragama
bagi generasi.
What happen's
...!!!
Ancaman atau
tantangan yang dihadapi dalam membangun sinergitas beragama menjadi faktor
pemograman yang specifik dan istimewa dari sebuah desain penguatan peran
sosial. Namun, saat bersamaan soliditas yang didesain berdasarkan berbagai
analisis yang jelas dan spesifik, ketika tidak mempertimbangkan tantangan
inklusif, berupa ketersediaan SDM dengan kemampuan keahlian specifik dan
lingkungan kerja (work behaviore) yang handal agaknya juga menjadi faktor threat bagi institusi itu bisa berjalan
mulus.
Problem
eksklusifitas sosial maupun personal dalam konteks kekinian menjadi faktor
pelemah institusi bisa paling tidak eksis melahirkan penguatan sosial beragama,
kecuali sikap inklusifitas yang didasarkan pada capaian tujuan institusi (institusional goals and objectives).
Apalagi dengan kejutan pandemi covid 19 saat kini dengan sejumlah tantangan
organisasi birokrasi maupun organisasi swasta. Ada ruang dimana kejutan sosial
(social shock) bisa terjadi karena krisis lingkungan sosial antar harapan
tercapainya kebutuhan dan capaian keberhasilan institusional dalam mendesain
program ditengah pandemi covid 19.
Spektrum
sosial keberagamaan yang menyoroti soal tradisi ibadah normal dan masa siaga
darurat menjadi " frame " dalam prilaku sosial saat ini, dimana ada
kepatuhan, ketaatan dlm melaksanakan aturan, tapi juga ada ketakutan karena
ledakan kematian dan saat bersamaan juga ada soal faktor kebutuhan yang harus
dipenuhi untuk terlepas dari lingkar kebutuhan primer, antara stay at home dan
pemenuhan kebutuhan hidup.
Tidak heran,
tantangan ini menjadi tantangan bersama yang saya, Pdt. Amsal Yowei sampaikan
sebagai " sinergitas beragama", dimana indikatornya adalah membangun
soliditas umat beragama sebagai makhluk Tuhan untuk sama sama keluar dari
pandemi COVID 19.
Maka respon
sosial keumatan dalam mengembangkan sinergitas beragama juga didasarkan pada
ketaatan, kepatuhan dalam melaksanakan regulasi dan penyampaian informasi
pemerintah dalam mengatasi lonjakan pasien positif covid 19 dengan tingkat
sebaran Covid 19 di masyarakat yang secara acak terjadi, diliuar dari dugaan
dugaan nalar kita.
Apa
tindakannya, ...yah !!!
Social
distancing dan pshycal distancing berupa masing masing kita menjadi pemutus
sebaran Covid 19 dengan stay at home berupa bekerja dari rumah dan beribadah
dari rumah.
Apa
keuntungannya ...!!!
Penguatan
keluarga menjadi " faktor penting " dari kecerdasan sosial dan
kecerdasan dalam bekerja. " Rumah " jadi pilihan utama dengan
keajegan yang mengkonfirmasi berbagai tindakan personal dan sosial, karena
ending stay at home itu adalah " rumah abadi " ( syurga) yang semua
umat beragama sedang berusaha menggapai.
Perspektif
rumah boleh jadi menjadi asumsi asumsi personal berupa kejenuhan, kebosanan,
dan rutinitas yang melelahkan, tapi sesungguhnya jika didalami menjadi spektrum
luas dimana rumah menjadi konfirmasi perilaku sosial yang ajeg, terukur, damai
dan mensejahterakan. Bukankah rumah abadi (syurga) itu, ekspektasi tertinggi yang
sedang kita perjuangkan dalam masa kehidupan kita didunia.
Nah ... !!!
Bagi orang beriman adalah usaha keras untuk mencapai ekspektasi rumah abadi
(syurga) itu diwujudkan dengan membangun keajegan dalam rumah kita sendiri,
karena pesona rumah kita itu sebenarnya damai sejahtera _ !!!.
Yah !!, bagi
orang beriman bahwa pandemi covid 19 juga adalah ujian keimanan dan juga
teguran Tuhan dalam mengembangkan sinergitas beragama, karena sebagai makhluk
Tuhan, boleh jadi gempuran teknologi membuat kita kadang lupa berdoa atau juga
lupa beribadah dan hampir semua waktu kita selalu berhubungan dengan teknologi
; ponsel cerdas kita , sehingga pijakan pandemi covid 19 juga mampu menaikan
derajat kesadaran pada kita untuk pulang ke rumah jiwa kita, karena disitulah
titik dimana kita menemukan diri kita yang sejatinya adalah makhluk Tuhan.
Stay at home
..., Jaga jarak ... , ibadah di rumah saja. (*)