ARTIKEL | HIJRAH MAKNAWIYAH
Oleh : Dr. Faisal Saleh, S.Ag., M.HI, Ketua Prodi Hukum Keluarga Islam (HKI) Program Pascasarjana, IAIN Fattahul Muluk Papua
Umat Islam memasuki fase baru, tahun baru 1 Muharram tahun 1442 H, tepatnya jatuh pada tanggal 20 Agustus 2020 dan sudah menjadi hari libur nasional. Secara garis besar makna hijrah dapat dibagi menjadi dua point penting, yaitu hijrah makaniyah (meninggalkan tempat) dan hijrah maknawiyah (secara makna). Dalam sejarah Nabi Muhammad SAW, hijrah makaniyah hanya terjadi sebanyak tiga kali, yaitu peristiwa hijrah sebagian sahabat ke Habasyah (Abbesinia, Ethopia), Nabi sendiri tidak ikut dalam robongan tersebut; dua lainnya, hijrah ke Thoif dan Madinah (Yatsrib) yang dilakukan sendiri Nabi Muhammad SAW bersama para sahabatnya. Peristiwa hijrah makaniyah tersebut bagian dari strategi dan cara syiar dalam dakwah menghadapi tekanan, itimidasi (bulliying) saat itu. Kedua, hijrah maknawiyah, adalah keberanaian melakukan perubahan diri dan sosial atas apa yang selama ini dianggap kurang dalam konteks sebagai hamba yang mengharap keselamatan dan kebahagian hidup.
Penulis kali ini ingin lebih fokus pada makna hijrah maknawiyah. Yaitu hijrah atau perubahan secara dinamis dari apapun yang menyangkut aspek keimanan, ibadah dan akhlak seseorang untuk melakukan perubahan diri yang lebih baik dari sebelumnya. Tiga komponen tersebut tidak bisa dipisahkan satu sama lain dari praktek-praktek keberislaman kita selama ini, meskipun pembahasannya dalam kitab-kitab kuning klasik terpisah secara bab perbab. Hijrah maknawiyah atau Perubahan diri dari tingkah laku masa lalu ke masa atau kepada keadaan yang baru tentu tidak mudah begitu saja ditinggalkan, apalagi hal tersebut sudah menjadi habit (kebiasaan), life style (gaya hidup)tersendiri, atau bila kebiasaan tersebut mendatangkan frovit (keuntungan finansial)bagi seseorang. Bukan seperti membalik kedua telapak tangan, namun membutuhkan sebuah komitmen tinggi (niat) dengan kesabaran, dan secara konsisten tahap demi tahap dalam proses berubah dari satu keadaan yang dianggap tidak sesuai dengan maksud dan tujuan keberislaman menjadi benar dan proporsional, seperti yang diidealkan oleh agama, tentu akhirnya ketetapan Tuhan yang memberi Hidayah atas niat perubahan tersebut.
Antara lain yang penulis ingin maknai hijrah kita secara maknawiyah yaitu, hijrah dari kebiasaan tidak bersih menjadi bersih, baik secara personal maupun lingkungan masyarakat sekitar. Environment Protection Index (EPI) merilis per-Juli 2020, diantara 10 Negara paling bersih di dunia, Indonesia belum masuk standar negara bersih, begitupula negara-negara muslim lainnya. Untuk kelas Asia saja, Indonesia kalah dari Singapura. Padahal secara doktrin keislaman sangat populer terdengar, “Kesucian adalah bagian dari iman”(HR.Muslim). Dan hadis lain menyebutkan : “Sesungguhnya Allah itu Maha Indah dan suka keindahan.” (HR. Muslim). Mengapa doktrin tersebut tidak menjadi spirit bagi kita untuk hijrah dari kebiasaan kurang bersih menjadi bergaya hidup (life style) selalu bersih, minimal tidak buang sampah sembarangan atau punya sensivitas tentang masalah kebersihan sekitar. Ada sindiran bahwa orang Islam biasa bersuci untuk ibadah, tetapi kelihatan gaya hidupnya kurang bersih. Walaupun bisa saja penulis berapologi dengan mengatakan sebaliknya, bahwa tidak semua yang bersih seperti negara-negara yang disebut oleh EPI tersebut adalah suci, karena tidak mengerti apa itu thoharoh dan tazkiah.
Hijrah dari kebiasan menunda waktu menjadi tepat waktu. Dalam laman Wowshack dalam The Most Out Coutries in the World, Indonesia disebut negara yang paling santai, meskipun tidak sendiri, sebab Rusia, Arab Saudi dan Ekuador juga disebut sebagai negara yang suka tidak tepat waktu alias “jam karet”. Doktrin untuk selalu menghargai waktu : “Jagalah lima perkara sebelum datang lima perkara lainnya. Mudamu sebelum masa tuamu, sehatmu sebelum masa sakitmu, kayamu sebelum masa miskinmu, waktu luangmu sebelum sibukmu dan hidupmu sebelum matimu,” (HR. Nasai dan Baihaqi). Dalam hadis lain menyebutkan : “dua nikmat yang banyak dilupakan banyak manusia tertipu di dalamnya, yaitu nikmat sehat dan waktu luang (HR. Bukhari, Tirmizi dan Ibnu Majah). Keislaman seseorang dan secara sosial selayaknya menjadi pegangan untuk menghargai waktu di setiap moment seperti rapat tepat waktu, berkegiatan tepat waktu, lebih-lebih beribadah tepat waktu. sebab bila telah menjadi kebiasaan hidup dan dianggap biasa-biasa saja maka akibatnya akan mengantarkan kepada keadaan ketidakjelasan agenda-agenda yang telah direncanakan sebelumnya. Bila orang barat mengatakan time is money, maka sesungguhnya bagi seorang muslim, waktu itu cakupannya jauh lebih luas karena kesuksesan memanage waktu semua akan berbuah amal ibadah.
Dua hal di atas sebagai muhasabah diri di awal tahan baru ini. Gaya hidup bersih akan mengantarkan kepada hidup sehat dan sehat ibarat mahkota arti sehat disadari setelah sakit dan menghargai waktu adalah sikap yang bijak. Bila keuntungan material yang tidak didapatkan hari ini masih bisa dicari gantinya di hari esok, tetapi bila waktu yang hilang berlalu dengan sia-sia, maka ia tidak akan kembali lagi. SELAMAT MEMASUKI TAHUN BARU HIJRIAH 1442 H. Wallahu a’lam bil shawab. (*)