ARTIKEL | BILA CORONA ITU TAKDIR
Oleh: FAISAL SALEH *)
Pertemuan dengan teman sejawat di sebuah Gazebo di saat wabah corona mulai menghebohkan tiga pekan lalu memunculkan beragam persepsi. Mulai soal bagaimana kalau wabah ini menyebar secara massif dan tidak terkendali, bagaimana sekolah anak-anak yang harus belajar di rumah, kantor-kontor tutup dan bekerja dari rumah (WFH), pembatasan waktu jualan di pasar dan jam buka pertokoan, sampai istilah Lockdown yang menjadi tranding topik di mana-mana, mulai dari kelas menengah atas sampai di kalangan mayarakat bawah. Saat perbincangan ringan tersebut berlangsung tidak terasa hampir tengah malam, kemudian muncul lontaran di antara teman yang mengatakan semua ini adalah sudah Takdir Tuhan Yang Maha Kuasa. Corona itu adalah makhluk Allah, mau bagaimana lagi ini ujian, kita siap terima saja.
Bukan maksud untuk mengulang kembali bahasan tentang takdir yang mungkin sudah dibahas panjang lebar oleh para ahli dalam memposisikan sikap seseorang dalam menghadapi segala permasalahan hidupnya, terlebih membahas pandangan teolog (ahli kalam) antara kelompok jabariyah (fatalism) dengan kelompok qadariyah (free act), tetapi hanya ingin mencoba mengaitkan pelajaran yang pernah kita dapatkan ketika masih di bangku sekolah dasar dulu atas wabah corona yang melanda.
Suatu hadis shahih yang menjelaskan tentang doktrin keimanan (rukun Iman) bagi seorang muslim, yaitu percaya kepada takdir sebagai ketetapan Allah SWT. Hadis itu berbunyi: . Bi al-qadari khairihi wa syarrihi (dan kamu percaya kepada takdir yang baik dan buruk) (HR. Muslim). Pemahaman takdir terhadap hadis tersebut kadangkala dimaknai sebagai arti menerima nasib. Padahal dalam al Quran sendiri kata takdir (qadar) hanya merujuk kepada dua makna yaitu ukuran dan hukum alam. (Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran) (Q.S.Al Qamar [54]:49) dan (Matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui) (Q.S. Yasin [36]:38).
Bagaimana manusia memahami takdirnya, Allah telah memberikan kemampuan yang bersifat terbatas sesuai dengan ukuran yang diberikan kepadanya. Contoh, manusia tidak dapat terbang seperti halnya dengan burung yang bersayap. Hanya sampai di situ ukuran dan batas kemampuannya, ia tidak berkuasa melampauinya, kecuali manusia menggunakan akalnya dengan menciptakan alat tertentu, namun akal juga mempunyai ukuran yang tidak dapat dilampaui. Pada sisi yang lain, manusia juga berada pada kontrol hukum-hukum ketentuan Allah sehingga apa pun yang kita lakukan tidak terlepas dari hukum-hukum tersebut yang telah mempunyai qadar atau ukurannya sendiri. Hanya perlu dipahami hukum- hukum ketetapan Tuhan itu banyak sekali sehingga manusia diberikan kemampuan untuk memilah dan memilih diantara takdir tersebut termasuk ketetapan Tuhan di alam raya. Misalnya ketetapan api sifatnya panas dan membakar, demikian pula angin sifatnya sejuk atau dingin adalah takdir Allah. Maka manusia boleh dan bebas memilah dan memilih diantara takdir-Nya tersebut. Oleh karenanya, di sinilah posisi bagi seseorang akan pentingnya pengetahuan, wawasan, disertai selalu memohon pentunjuk ilahi (hidayah).
Perpaduan keilmuan dan hidayah dicontohkan sendiri oleh kecerdasan seorang Khalifah Umar Ibn Khattab dalam memahami soal takdir. Ketika di Syam terjadi wabah menular dan ada rencana berkunjung ke wilayah tersebut lalu dibatalkan setelah mendengar informasi dan tentu pertimbangan menjaga jiwa lebih utama dari yang lain (hifzul al nafs). Para sahabat banyak yang perotes atas sikap umar tersebut dan bertanya atafrru min qadri al Allah (Apakah anda akan lari dari takdir Allah) tanya salah seorang diantara mereka, Jawab Umar r.a. kemudian, Afirru min qadri al Allahi ila qadri al Allahi (Saya lari/menghindar dari takdir Allah kepada Takdir Allah yang lain).
Contoh yang sama terjadi pada seorang Imam Ali r.a. sedang duduk pada tembok yang rapuh, lalu pindah ke tempat lain. Lalu orang-orang sekitarnya kurang lebih bertanya seperti halnya pertanyaan di atas, jawab Ali ibn Abi Thalib, intinya sama dengan jawaban Umar. r.a. Rubuhnya tembok, terjadinya pandemi adalah ketentuan atau hukum-hukum yang telah digariskan Tuhan, bila tidak segera menghindar akan mereka tetap akan menerima akibatnya. Akibat tersebut itulah dinamai takdir. Demikian pula sebaliknya upaya menghindar dari ancaman marabahaya sehingga dapat selamat juga dinamakan takdir.
Disinilah letak kehebatan manusia dengan segala potensinnya dapat memilah dan memilih serta kemampuan pilihan tersebut sekaligus juga dinamai takdir, maka sepanjang hidupnya manusia tidak akan luput dari takdir, baik maupun buruk. Inilah sesungguhnya yang dimaksud hadis di atas . Bi al-qadari khairihi wa syarrihi. Qurais Shihab, mengatakan tidak bijaksana bila hal yang bersifat negatif dan merugikan seseorang saja yang disebut takdir, karena sesungguhnya yang positif pun juga adalah takdir.
Wabah virus corona telah menginfeksi Penduduk Papua berdasarkan data yang disampaikan oleh Jubir Civid 19, Silwanus Sumule, tanggal, 11 April 2020 sebanyak 61 orang, 45 berstatus dalam perawatan, 9 orang dinyatakan sembuh dan meninggal 7 orang. Jatuhlah takdir dengan data kejadian di atas yang tentu ukuran dan hukum Tuhan telah berlaku dari sebab tertularanya seseorang, namun usaha untuk menerapkan 5 langkah pencegahan Covid 19 misalnya dengan cara sering mencuci tangan dengan sabun, menghindari menyetuh area wajah, menghindari berjabat tangan, selalu memakai masker, menghindari perkumpulan orang banyak, serta lebih banyak di rumah juga adalah hukum dan suatu ketentuan Tuhan, sehingga tidak tertular juga adalah Takdir. Bila corona itu takdir dan dapat mematikan, maka mengindarnyapun takdir. Tinggal mau pilih yang mana. Silahkan, bila memilih yang kedua berarti siap selamat, sa jaga ko, ko jaga sa, kitong pasti selamat, semoga. Wallahu alam bil shawab. (*)
*) Dr. Faisal Saleh, M.HI, Dosen Fakultas Syariah IAIN Fattahul Muluk Papua dan Sekum MUI Papua.
Pasar Lama Sentani, Jayapura, 12 April 2020.
Dr. Faisal Saleh, M.HI |
Pertemuan dengan teman sejawat di sebuah Gazebo di saat wabah corona mulai menghebohkan tiga pekan lalu memunculkan beragam persepsi. Mulai soal bagaimana kalau wabah ini menyebar secara massif dan tidak terkendali, bagaimana sekolah anak-anak yang harus belajar di rumah, kantor-kontor tutup dan bekerja dari rumah (WFH), pembatasan waktu jualan di pasar dan jam buka pertokoan, sampai istilah Lockdown yang menjadi tranding topik di mana-mana, mulai dari kelas menengah atas sampai di kalangan mayarakat bawah. Saat perbincangan ringan tersebut berlangsung tidak terasa hampir tengah malam, kemudian muncul lontaran di antara teman yang mengatakan semua ini adalah sudah Takdir Tuhan Yang Maha Kuasa. Corona itu adalah makhluk Allah, mau bagaimana lagi ini ujian, kita siap terima saja.
Bukan maksud untuk mengulang kembali bahasan tentang takdir yang mungkin sudah dibahas panjang lebar oleh para ahli dalam memposisikan sikap seseorang dalam menghadapi segala permasalahan hidupnya, terlebih membahas pandangan teolog (ahli kalam) antara kelompok jabariyah (fatalism) dengan kelompok qadariyah (free act), tetapi hanya ingin mencoba mengaitkan pelajaran yang pernah kita dapatkan ketika masih di bangku sekolah dasar dulu atas wabah corona yang melanda.
Suatu hadis shahih yang menjelaskan tentang doktrin keimanan (rukun Iman) bagi seorang muslim, yaitu percaya kepada takdir sebagai ketetapan Allah SWT. Hadis itu berbunyi: . Bi al-qadari khairihi wa syarrihi (dan kamu percaya kepada takdir yang baik dan buruk) (HR. Muslim). Pemahaman takdir terhadap hadis tersebut kadangkala dimaknai sebagai arti menerima nasib. Padahal dalam al Quran sendiri kata takdir (qadar) hanya merujuk kepada dua makna yaitu ukuran dan hukum alam. (Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran) (Q.S.Al Qamar [54]:49) dan (Matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui) (Q.S. Yasin [36]:38).
Bagaimana manusia memahami takdirnya, Allah telah memberikan kemampuan yang bersifat terbatas sesuai dengan ukuran yang diberikan kepadanya. Contoh, manusia tidak dapat terbang seperti halnya dengan burung yang bersayap. Hanya sampai di situ ukuran dan batas kemampuannya, ia tidak berkuasa melampauinya, kecuali manusia menggunakan akalnya dengan menciptakan alat tertentu, namun akal juga mempunyai ukuran yang tidak dapat dilampaui. Pada sisi yang lain, manusia juga berada pada kontrol hukum-hukum ketentuan Allah sehingga apa pun yang kita lakukan tidak terlepas dari hukum-hukum tersebut yang telah mempunyai qadar atau ukurannya sendiri. Hanya perlu dipahami hukum- hukum ketetapan Tuhan itu banyak sekali sehingga manusia diberikan kemampuan untuk memilah dan memilih diantara takdir tersebut termasuk ketetapan Tuhan di alam raya. Misalnya ketetapan api sifatnya panas dan membakar, demikian pula angin sifatnya sejuk atau dingin adalah takdir Allah. Maka manusia boleh dan bebas memilah dan memilih diantara takdir-Nya tersebut. Oleh karenanya, di sinilah posisi bagi seseorang akan pentingnya pengetahuan, wawasan, disertai selalu memohon pentunjuk ilahi (hidayah).
Perpaduan keilmuan dan hidayah dicontohkan sendiri oleh kecerdasan seorang Khalifah Umar Ibn Khattab dalam memahami soal takdir. Ketika di Syam terjadi wabah menular dan ada rencana berkunjung ke wilayah tersebut lalu dibatalkan setelah mendengar informasi dan tentu pertimbangan menjaga jiwa lebih utama dari yang lain (hifzul al nafs). Para sahabat banyak yang perotes atas sikap umar tersebut dan bertanya atafrru min qadri al Allah (Apakah anda akan lari dari takdir Allah) tanya salah seorang diantara mereka, Jawab Umar r.a. kemudian, Afirru min qadri al Allahi ila qadri al Allahi (Saya lari/menghindar dari takdir Allah kepada Takdir Allah yang lain).
Contoh yang sama terjadi pada seorang Imam Ali r.a. sedang duduk pada tembok yang rapuh, lalu pindah ke tempat lain. Lalu orang-orang sekitarnya kurang lebih bertanya seperti halnya pertanyaan di atas, jawab Ali ibn Abi Thalib, intinya sama dengan jawaban Umar. r.a. Rubuhnya tembok, terjadinya pandemi adalah ketentuan atau hukum-hukum yang telah digariskan Tuhan, bila tidak segera menghindar akan mereka tetap akan menerima akibatnya. Akibat tersebut itulah dinamai takdir. Demikian pula sebaliknya upaya menghindar dari ancaman marabahaya sehingga dapat selamat juga dinamakan takdir.
Disinilah letak kehebatan manusia dengan segala potensinnya dapat memilah dan memilih serta kemampuan pilihan tersebut sekaligus juga dinamai takdir, maka sepanjang hidupnya manusia tidak akan luput dari takdir, baik maupun buruk. Inilah sesungguhnya yang dimaksud hadis di atas . Bi al-qadari khairihi wa syarrihi. Qurais Shihab, mengatakan tidak bijaksana bila hal yang bersifat negatif dan merugikan seseorang saja yang disebut takdir, karena sesungguhnya yang positif pun juga adalah takdir.
Wabah virus corona telah menginfeksi Penduduk Papua berdasarkan data yang disampaikan oleh Jubir Civid 19, Silwanus Sumule, tanggal, 11 April 2020 sebanyak 61 orang, 45 berstatus dalam perawatan, 9 orang dinyatakan sembuh dan meninggal 7 orang. Jatuhlah takdir dengan data kejadian di atas yang tentu ukuran dan hukum Tuhan telah berlaku dari sebab tertularanya seseorang, namun usaha untuk menerapkan 5 langkah pencegahan Covid 19 misalnya dengan cara sering mencuci tangan dengan sabun, menghindari menyetuh area wajah, menghindari berjabat tangan, selalu memakai masker, menghindari perkumpulan orang banyak, serta lebih banyak di rumah juga adalah hukum dan suatu ketentuan Tuhan, sehingga tidak tertular juga adalah Takdir. Bila corona itu takdir dan dapat mematikan, maka mengindarnyapun takdir. Tinggal mau pilih yang mana. Silahkan, bila memilih yang kedua berarti siap selamat, sa jaga ko, ko jaga sa, kitong pasti selamat, semoga. Wallahu alam bil shawab. (*)
*) Dr. Faisal Saleh, M.HI, Dosen Fakultas Syariah IAIN Fattahul Muluk Papua dan Sekum MUI Papua.
Pasar Lama Sentani, Jayapura, 12 April 2020.