ARTIKEL | Imam Sebenarnya Di Bulan Ramadhan

Oleh: Dr. Muhammad Anang Firdaus, M.Fil.I
(Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Fattahul Muluk Papua)


“Berani keluar dari zona nyaman membuat orang menjadi pribadi yang lebih open-minded  “

Bebarapa hari lalu saya diundang oleh pengurus masjid di dekat rumah untuk menyikapi datangnya bulan Ramadhan di tengah penyebaran wabah covid 19. Singkatnya, rapat menghasilkan keputusan yang tidak jauh beda dengan keputusan rapat sebelumnya ketika wabah covid 19 masuk di Papua, dengan tambahan tidak ada shalat tarawih dan tadarus al-Quran di masjid selama Ramadhan. Semua dilakukan di rumah jamaah masing-masing.
Saat covid 19 mulai masuk Indonesia, pemerintah daerah mulai menerapkan aturan sesuai dengan protokol kesehatan dalam penanggulangan wabah ini.  Semua orang berharap wabah ini sudah dapat diatasi dan hilang dari permukaan bumi sebelum Ramadhan datang. Faktanya, saat ini, penyebarannya semakin  luas, korbannya semakin banyak. Ketua gugus penanganan covid 19 menyatakan bahwa puncak penyebaran atau saat kritis covid 19 di Papua di perkirakan bulan Mei. Tak heran bila semua peserta rapat malam itu sepakat untuk meniadakan kegiatan di masjid selama masa penyebaran virus ini. 
Ada hal yang menarik dan menggelitik nalar saya ketika ada seorang jamaah bertanya sesaat setelah rapat, Kalau terawih di rumah masing-masing bagaimana ya pak?”
Spontan saya jawab, “Ya sama seperti di masjid.” Kemudian ia tambahkan, Lha itu masalahnya, jadi imam shalat tenanan iki (beneran ini -Jawa-). Memang selama ini tidak jadi imam beneran, gumam saya dalam hati. Kemudian ia cerita bahwa selama ini selalu shalat terawih di masjid, tinggal mengikuti gerakan imam dan ikuti ucapan bilal saat jeda dua rakaat shalat. Memang saya kadang  shalat jamaah dengan keluarga di rumah tapi dengan bacaan surat pendek dan itu-itu saja suratnya. Lha ini harus shalat terawih yang panjang dan surat al-quran apa yang dibaca dan bagaimana bacaan shalawat  dan doa saat pergantian dua rakaat shalat, kacau ini..,” lanjutnya. Akhirnya saya usulkan pada pengurus agar membuat panduan tertulis tentang shalat terawih dan bacaan shalawat dan doanya, sekalian dengan tutorial dalam bentuk video untuk dishare ke semua jamaah.
Percakapan di akhir rapat itu, mengingatkan saya bahwa pada dasarnya semua orang menyukai semua hal yang membuatnya nyaman, dalam zona nyaman. Alasdair A. K. White, seorang pakar behavioral psychology  menyebut zona nyaman sebagai bagian dari masalah dasar manusia. Berada di zona nyaman membuat orang terlena, merasa santai tanpa tekanan, merasa senang dan bebas. Namun tanpa disadari hal ini membuat orang sulit untuk maju dan berkembang karena hanya itu yang dilakukan tanpa inovasi, pelajaran dan pengalaman baru.
Seringkali kita dengar kalimat keluarlah dari zona nyaman kalau ingin sukses. Tapi namanya sudah nyaman, pasti susah sekali untuk ditinggalkan, bahkan beberapa orang lebih memilih tetap berada pada zona nyamannya dan mengabaikan keuntungan yang ia dapat bila keluar darinya. Berani keluar dari zona nyaman membuat orang menjadi pribadi yang lebih open-minded, pemikirannya lebih terbuka, mengeksplor pikiran lebih kreatif, meng-upgrade diri,  dan meningkatkan kompetensi diri.
Perkataan jamah “wah jadi imam shalat tenanan iki”, paling tidak menunjukkan kesadaran keluar dari zona nyamannya itu penting meski terpaksa. Kadang kondisi memaksa kita untuk mengambil tindakan yang lebih baik meski beresiko. Allah menyatakan : sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib kaum hingga mereka mengubah diri mereka sendiri (Q.S. Ar-Rad; 11).  Kadang kita dipaksa keadaan keluar dari zona nyaman untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Wallahu Alam. (*)

Jayapura, 23  4 – 2020.

Postingan populer dari blog ini

Musorma harus Menghasilkan Pemimpin yang Memiliki Integritas

IAIN Fattahul Muluk Papua Raih Akreditasi B dari BAN-PT