ARTIKEL | 'TARAWIHKU DI RUMAH’

Oleh: Dr. Faisal Saleh, M.HI.
(Dosen Fakultas Syariah IAIN Fattahul Muluk Papua)

"...tetapi jangan pula terus menerus dalam kegelapan ilmu..."

Sehari sebelum Ramadhan tiba, seperti biasanya di sore hari warga komplek kami bersantai di depan rumah sambil bercerita dengan canda ringan, walau dalam keadaan ruang gerak yang tidak bebas lagi ke sana kemari, karena sudah masuk dalam wilayah yang dikarantina. Di sela-sela obrolan, salah seorang bapak diantara tetangga mengatakan, “Bagaimana ee. (Dialek Papua) besok kita tarawih di rumah?” Isterinya menyambut dengan mengatakan, “Bapak to ... yang jadi imam.” Sambil bubar karena waktu mahgrib segera tiba, sang bapak menimpalinya, “Tapi, bagaimana ee.”
Dalam hati bertanya, mungkin sang bapak tadi sudah lupa bagaimana soal tata cara tarawih sebagaimana biasanya dilaksanakan di masjid-masjid setempat, atau memang karena tidak tahu. Fenomena ini segaris dengan yang dikemukakan oleh rekan sejawat penulis, bahwa banyak diantara kalangan umat Islam yang tidak tahu tata cara shalat tarawih. “Banyak yang masih minim pengetahuan, apalagi yang selama ini menggantungkan proses tarawih itu di imam masjid dan perangkatnya, sekarang sudah dilakukan di rumah masing-masing.”".....tabrak Alif saja masih bingung” Waduh, bagaimana, sedemikian itukah?

Moment seperti tersebut di atas merupakan sisi baik, khususnya para kalangan agamawan (Kyai, Ustads atau Guru Agama, Dosen di kalangan PTAI) atau Lembaga ormas Islam untuk melakukan instropeksi peran (muhasabah) terhadap apa yang terjadi dengan fenomena tersebut. Sebab sejatinya, kalangan agamawan adalah orang-orang yang pernah dididik dengan bekal ilmu pengetahuan yang berlebih dibandingkan orang awam, dan setelah itu bertugas kembali ke tengah masyarakatnya untuk menjadi pencerah umat (munzirul qoum), ibarat seperti obor di kegelapan malam (lihat: Q.S Al Taubah: 122).

Pertanyaannya, khususnya lagi para agamawan, bagaimana perannya selama ini? Tentu bukan untuk dijawab dengan segala macam bentuk apologi untuk membela diri, namun baiknya untuk memperkuat semangat dan kapasitas diri bahwa ilmu pengetahuan begitu pentingnya diwariskan kepada generasi, minimal pada hal-hal mendasar tentang agama, terlebih kepada generasi millenial yang tantangannya tentu berbeda dengan zaman kita dan orang tua dulu.

Tentu kita sudah mengerti dan menyakini, bahwa Tuhan akan meninggikan derajat para agamawan yang dianugrahi kelebihan ilmu. Bahkan disebut oleh Tuhan dengan kata plural atau jamak, beberapa derajat (darojaat). Berapa derajat tingginya kedudukan orang berilmu, hanya Tuhan yang tahu (Q.S. Al Mujadilah:
11). Ketinggian derajat tersebut tentu ada syaratnya bagi seorang ilmuan. Disamping karena keimanan, tentu juga antara lain harus dilandasi dengan semangat fighting spirit yang tinggi. Untuk kalangan muballigh misalnya yang bersentuhan langsung dengan masyarakat luas, baik kalangan atas dan bawah, harusnya ada dalam diri seorang muballigh pencerah yang tertanam bahwa derajatnya, lebih baik dari dunia dan segala isinya (Lihat HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak). Ini baru di dunia, bagaimana di akhirat? Sangat dahsyat.

Hal ini juga sekaligus untuk dipahami kita semua, siapapun dia, bahwa ustads atau muballigh itu sendiri tidak selalu diukur dengan materi. Ustads tidak boleh diukur dengan honor dan amplop. Materi seberapa pun yang ada di dunia ini tidak bisa dinilai dengan profesi seorang muballigh atau penceramah. Maaf, maka sangat disayangkan kalau ada oknum ustads yang punya target-target motivasi (niat) materi dalam berdakwah, karena dia telah merendahkan derajatnya sendiri dengan nilai tersebut. Bukan berarti para muballigh atau pegiat dalam keagamaan itu tidak perlu disokong materi, sebab mereka adalah orang yang diabadikan namanya dalam asnaf delapan untuk layak diberi porsi seperti zakat sebagai pejuang di jalan Allah.

Kembali kepada soal fenomena tarawih masyarakat di wabah corona ini sebagaimana tersebut di atas, bagi kalangan awam, solusinya tentu sebaiknya bertanya kepada orang yang dianggap mampu memberinya pencerahan. Pengetahuaannya tentang agama sementara ini, tentu tidak dibebani hukum yang tidak diketahuinya. Ikhlaskan niatmu untuk ibadah Ramadhan, jangan ragu, tetapi jangan pula terus menerus dalam kegelapan ilmu, karena ada ustads atau muballigh di sekitarmu. Kalaupun tidak bisa berinteraksi langsung karena keadaan ini, cukuplah dengan apa yang ada pada dirimu dengan HandPhone yang selalu kau on-kan. Semoga tetap dalam keberkahan Ramadhan. Wallahu alam Bil Shawab. (*)

Sentani, Jayapura. 24 April 2020

Postingan populer dari blog ini

Musorma harus Menghasilkan Pemimpin yang Memiliki Integritas

IAIN Fattahul Muluk Papua Raih Akreditasi B dari BAN-PT