ARTIKEL | Paceklik Di Masa Covid-19
Oleh: Muhammad Anang Firdaus *)
-Kecakapan dalam memahami gejala sosial ekonomi merupakan hal yang perlu kita teladani-
Saat ini bangsa kita sedang menghadapi masa pandemik Covid-19. Pandemik secara bahasa berarti wabah yang berjangkit serempak di mana-mana, meliputi daerah geografi yang luas. Kerenanya pemerintah pusat dan pemerintah daerah mengambil langkah-langkah antisipasi atau kesiapsiagaan di wilayahnya masing-masing agar wabah tidak menelan banyak korban lebih besar. Langkah penanganan harus dibangun secara baik dan sinergis dengan seluruh elemen masyarakat untuk memutus mata rantai penyebaran virus ini. Beberapa kebijakan yang diambil pemerintah seperti karantina wilayah, social distancing atau physical distancing, hingga pembatasan waktu untuk beraktifitas di luar rumah. Contohnya, di daerah Sentani Kabupaten Jayapura mulai hari ini berlaku aturan batas akhir untuk beraktifitas di luar rumah pukul 14.00 WIT, dan yang melanggar akan ditindak tegas oleh Satgas Covid-19.
Situasi seperti ini dirasakan masyarakat sangat berpengaruh terhadap pendapatan mereka terutama bagi para pekerja harian, mingguan atau sektor swasta. Kondisi ini menuntut masyarakat lebih kreatif untuk mengatur dan mengatasi kebutuhan domestic rumah tangganya. Inilah yang saya sebut masa paceklik. Term paceklik berarti musim kekurangan bahan pangan di suatu daerah baik karena kekeringan, gagal panen dan lain-lain. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, paceklik juga bisa diartikan masa sepi atau masa sulit dalam perdagangan, ekonomi, produksi atau kegiatan yang lain.
Dalam sejarah, kita mengetahui pernah terjadi paceklik yang membawa kesengsaraan manusia saat itu. Usaha untuk mengatasi masa paceklik ini mengingatkan pada sosok Nabi Yusuf A.S, seorang utusan Allah yang visioner dan futuristik yang namanya diabadikan dalam al-Quran. Tentu kasus krisis ekonomi yang mengarah pada krisis pangan yang dihadapi umat Nabi Yusuf beda dengan yang kita hadapi, namun situasinya memiliki persamaan. Kondisi inilah yang mulai kita rasakan akibat Covid-19 saat ini.
Keluhan para pengusaha, distribusi bahan pokok yang semakin sulit, laju inflasi, dan lesunya sistem keuangan merupakan indikator yang mengarah pada krisis ekonomi. Mungkin banyak yang belum merasakan langsung dari economic effects ini. Bank Indonesia per 14 April 2020 memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 hanya sebesar 2.3 persen, bahkan ekonom senior Chatib Basri memprediksi pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 0,3 persen. Beberapa indikator dan prediksi ini seyogyanya mengingatkan kita akan masa-masa sulit seperti yang dialami bangsa Mesir di zaman Nabi Yusuf.
Nabi Yusuf merupakan seorang yang futuristik ketika menakwilkan mimpi raja Mesir sebagaimana diberitakan al-Quran: “Raja berkata (kepada orang-orang terkemuka dari kaumnya): "Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang kering." Hai orang-orang yang terkemuka: "Terangkanlah kepadaku tentang ta'bir mimpiku itu jika kamu dapat mena'birkan mimpi." (Q.S. Yusuf; 43).
Para ahli nujum dan cendekiawan di lingkungan istana menganggap mimpi raja hanya mimpi biasa tentang masa depan. Tapi bagi Nabi Yusuf, sebagaimana dijelaskan oleh Qurasy Syihab dalam tafsir al-Misbah, mimpi raja itu merupakan isyarat bagi raja untuk mengambil langkah preventif dalam menyelamatkan masyarakat Mesir dari krisis pangan. Pada zaman itu, mimpi merupakan sumber pengetahuan yang dibenarkan. Kemampuan Nabi Yusuf mampu mengejawantahkan mimpi raja sebagai indikasi krisis ekonomi yang mengarah pada krisis pangan membuat raja Mesir terpesona dan menawarkan kapadanya untuk menjadi Penasehat Negara. Namun Nabi Yusuf lebih memilih untuk menjadi Bendahara Negara sesuai dengan kompetensinya sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. Yusuf ayat 54-55. Ibnu Katsir menambahkan bahwa Nabi Yusuf meminta jabatan tersebut karena tahu akan kompetensi dirinya, juga menyadari pekerjaan itu mendatangkan maslahat bagi banyak orang.
Yusuf mengambil langkah strategis yang menyangkut kebijakan pemerintah sekaligus masyarakat. Strategi efisiensi dan peningkatan produksi dan penghematan, menghemat penggunaannya serta membangun lumbung hasil bumi sebagai persediaan menghadapi masa paceklik yang diprediksi akan datang. Kecakapan dalam memahami gejala social ekonomi yang ditangkap dari indikasi-indikasi yang muncul, membuat prediksi, dan menentukan langkah-langkah solutif, merupakan hal yang perlu kita teladani pada masa Covid-19 saat ini. Semoga badai cepat berlalu
Wallahu Alam (*)
*) Dr. M. Anang Firdaus, M.Fil.I. Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, IAIN Fattahul Muluk Papua.
Abepura, Jayapura, 20 April 2020.
-Kecakapan dalam memahami gejala sosial ekonomi merupakan hal yang perlu kita teladani-
Saat ini bangsa kita sedang menghadapi masa pandemik Covid-19. Pandemik secara bahasa berarti wabah yang berjangkit serempak di mana-mana, meliputi daerah geografi yang luas. Kerenanya pemerintah pusat dan pemerintah daerah mengambil langkah-langkah antisipasi atau kesiapsiagaan di wilayahnya masing-masing agar wabah tidak menelan banyak korban lebih besar. Langkah penanganan harus dibangun secara baik dan sinergis dengan seluruh elemen masyarakat untuk memutus mata rantai penyebaran virus ini. Beberapa kebijakan yang diambil pemerintah seperti karantina wilayah, social distancing atau physical distancing, hingga pembatasan waktu untuk beraktifitas di luar rumah. Contohnya, di daerah Sentani Kabupaten Jayapura mulai hari ini berlaku aturan batas akhir untuk beraktifitas di luar rumah pukul 14.00 WIT, dan yang melanggar akan ditindak tegas oleh Satgas Covid-19.
Situasi seperti ini dirasakan masyarakat sangat berpengaruh terhadap pendapatan mereka terutama bagi para pekerja harian, mingguan atau sektor swasta. Kondisi ini menuntut masyarakat lebih kreatif untuk mengatur dan mengatasi kebutuhan domestic rumah tangganya. Inilah yang saya sebut masa paceklik. Term paceklik berarti musim kekurangan bahan pangan di suatu daerah baik karena kekeringan, gagal panen dan lain-lain. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, paceklik juga bisa diartikan masa sepi atau masa sulit dalam perdagangan, ekonomi, produksi atau kegiatan yang lain.
Dalam sejarah, kita mengetahui pernah terjadi paceklik yang membawa kesengsaraan manusia saat itu. Usaha untuk mengatasi masa paceklik ini mengingatkan pada sosok Nabi Yusuf A.S, seorang utusan Allah yang visioner dan futuristik yang namanya diabadikan dalam al-Quran. Tentu kasus krisis ekonomi yang mengarah pada krisis pangan yang dihadapi umat Nabi Yusuf beda dengan yang kita hadapi, namun situasinya memiliki persamaan. Kondisi inilah yang mulai kita rasakan akibat Covid-19 saat ini.
Keluhan para pengusaha, distribusi bahan pokok yang semakin sulit, laju inflasi, dan lesunya sistem keuangan merupakan indikator yang mengarah pada krisis ekonomi. Mungkin banyak yang belum merasakan langsung dari economic effects ini. Bank Indonesia per 14 April 2020 memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 hanya sebesar 2.3 persen, bahkan ekonom senior Chatib Basri memprediksi pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 0,3 persen. Beberapa indikator dan prediksi ini seyogyanya mengingatkan kita akan masa-masa sulit seperti yang dialami bangsa Mesir di zaman Nabi Yusuf.
Nabi Yusuf merupakan seorang yang futuristik ketika menakwilkan mimpi raja Mesir sebagaimana diberitakan al-Quran: “Raja berkata (kepada orang-orang terkemuka dari kaumnya): "Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang kering." Hai orang-orang yang terkemuka: "Terangkanlah kepadaku tentang ta'bir mimpiku itu jika kamu dapat mena'birkan mimpi." (Q.S. Yusuf; 43).
Para ahli nujum dan cendekiawan di lingkungan istana menganggap mimpi raja hanya mimpi biasa tentang masa depan. Tapi bagi Nabi Yusuf, sebagaimana dijelaskan oleh Qurasy Syihab dalam tafsir al-Misbah, mimpi raja itu merupakan isyarat bagi raja untuk mengambil langkah preventif dalam menyelamatkan masyarakat Mesir dari krisis pangan. Pada zaman itu, mimpi merupakan sumber pengetahuan yang dibenarkan. Kemampuan Nabi Yusuf mampu mengejawantahkan mimpi raja sebagai indikasi krisis ekonomi yang mengarah pada krisis pangan membuat raja Mesir terpesona dan menawarkan kapadanya untuk menjadi Penasehat Negara. Namun Nabi Yusuf lebih memilih untuk menjadi Bendahara Negara sesuai dengan kompetensinya sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. Yusuf ayat 54-55. Ibnu Katsir menambahkan bahwa Nabi Yusuf meminta jabatan tersebut karena tahu akan kompetensi dirinya, juga menyadari pekerjaan itu mendatangkan maslahat bagi banyak orang.
Yusuf mengambil langkah strategis yang menyangkut kebijakan pemerintah sekaligus masyarakat. Strategi efisiensi dan peningkatan produksi dan penghematan, menghemat penggunaannya serta membangun lumbung hasil bumi sebagai persediaan menghadapi masa paceklik yang diprediksi akan datang. Kecakapan dalam memahami gejala social ekonomi yang ditangkap dari indikasi-indikasi yang muncul, membuat prediksi, dan menentukan langkah-langkah solutif, merupakan hal yang perlu kita teladani pada masa Covid-19 saat ini. Semoga badai cepat berlalu
Wallahu Alam (*)
*) Dr. M. Anang Firdaus, M.Fil.I. Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, IAIN Fattahul Muluk Papua.
Abepura, Jayapura, 20 April 2020.